Setiap pagi, aku berjalan melewati taman kecil yang terletak di tengah kota. Taman itu selalu sepi, kecuali pada saat akhir pekan, saat orang-orang datang untuk berolahraga atau sekadar duduk menikmati udara segar. Namun, pada hari itu, taman itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan jalanan yang basah dan udara yang segar. Langkahku terhenti di depan sebuah bangku kayu yang ada di tengah taman, tempat yang selalu aku pilih untuk duduk dan menikmati kopi pagi.
Di sana, duduk seorang wanita, mengenakan jaket berwarna merah dan topi kecil yang menutupi rambutnya. Matanya tertuju pada sebuah buku yang terbuka di tangannya, tapi ada sesuatu yang berbeda hari itu. Aku memperhatikannya, merasa ada sesuatu yang khas tentang cara dia duduk dan membaca. Seolah dunia di sekitarnya tidak ada, hanya dirinya dan halaman-halaman buku itu.
Aku melangkah lebih dekat, dan seketika, dia menoleh ke arahku. Senyumnya tidak sebesar biasanya, lebih seperti senyum kecil yang menyembunyikan banyak hal. "Pagi," katanya lembut, seolah suara hujan yang masih mengalun menjadi latar belakang percakapan kami.
"Pagi," balasku, merasa aneh, tapi juga nyaman dengan kehadirannya di sini, di taman yang sunyi ini.
Aku duduk di bangku sebelahnya, memperhatikan secangkir kopi yang ada di tanganku. Mungkin karena aku sudah sering melihatnya di sini, atau mungkin karena aku mulai merasa nyaman dengannya, kami jarang berbicara banyak. Kami hanya duduk dalam keheningan, masing-masing dengan pikiran dan dunia kami sendiri. Namun, hari ini ada perasaan yang berbeda di udara. Sesuatu yang tak terucapkan, tapi jelas terasa.
Akhirnya, dia membuka mulutnya setelah beberapa menit, "Aku sedang menulis surat," katanya pelan, hampir seperti bisikan.
Aku mengerutkan dahi, penasaran. "Surat? Kepada siapa?"
Dia terdiam sejenak, menutup buku yang ada di tangannya. "Seseorang yang sudah lama pergi," jawabnya, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku menulis surat-surat kepadanya, tapi aku tak pernah mengirimkannya. Tidak pernah."
Ada keheningan lagi di antara kami, dan aku merasakan perasaan campur aduk. Ada rasa ingin tahu, tapi juga perasaan empati yang mendalam. Aku tahu dia sedang berjuang dengan sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin sulit untuk diungkapkan.
"Apa isi surat itu?" tanyaku dengan hati-hati, takut mengganggu suasana.
Dia tersenyum, sedikit mengernyitkan dahi seolah berpikir, sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya menulis apa yang tidak bisa aku katakan langsung. Tentang kenangan, tentang perasaan yang belum tuntas. Tentang bagaimana aku belajar untuk melepaskan."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana bisa mengerti perasaan seseorang yang sedang berjuang dengan kenangan? Tapi ada satu hal yang aku tahu, ada sesuatu yang indah dalam keheningan kami, sesuatu yang membuatku merasa bahwa aku ingin mendengarkan lebih banyak lagi.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke taman itu, berharap bisa bertemu dengannya lagi. Dan benar saja, dia duduk di tempat yang sama, buku di tangan, tapi kali ini ada sebuah amplop kecil di sampingnya.
"Kamu mengirim surat itu?" tanyaku, sedikit tergesa-gesa.
Dia tersenyum samar, membuka amplop itu dan mengeluarkan secarik kertas. "Tidak," katanya dengan lembut. "Tapi aku menulisnya, dan itu sudah cukup."
Aku tersenyum, merasa seperti baru saja menemukan sepotong dari teka-teki perasaannya. Mungkin dia tidak perlu mengirimkan surat-surat itu. Mungkin, dengan menulisnya, dia sudah menemukan cara untuk melepaskan.
Kami duduk bersama, berbicara tentang hal-hal lain. Dan meskipun dia tidak pernah mengirimkan surat itu, aku merasa ada hal yang lebih penting yang terjadi antara kami—tentang berbagi momen, berbagi perasaan, tanpa harus mengungkapkannya dengan kata-kata.
0 Komentar