Hari itu, hujan turun dengan derasnya. Langit kelabu, dan suara gemericik air yang jatuh ke tanah
mengiringi setiap langkahku. Aku berjalan pelan di trotoar yang sepi, mencoba menghindari percikan air yang membuat sepatu dan celanaku basah. Angin yang kencang membuat payung kecilku terombang-ambing, hampir saja terbalik. Aku menggerutu pelan, merasa sedikit kesal dengan cuaca yang tidak bersahabat.
Tapi kemudian, aku melihatnya. Dia, yang berdiri di bawah pohon rindang di ujung jalan, tampak seperti tidak peduli dengan hujan yang semakin deras. Dengan jaket cokelatnya yang tampak nyaman dan tatapan mata yang tenang, dia tersenyum kecil saat matanya bertemu dengan mataku. Aku terhenti sejenak, seolah waktu berhenti berputar.
"Tak seharusnya kamu berada di luar dalam hujan," katanya, suaranya terdengar lembut, namun cukup jelas di tengah riuhnya hujan.
Aku hanya bisa tersenyum kaku, sedikit bingung dengan situasi yang tiba-tiba terasa canggung. "Aku sedang berjalan menuju tempat perlindungan," jawabku, mencoba untuk terdengar lebih santai meskipun hatiku berdebar.
Dia tersenyum lebih lebar, seolah mengerti. "Kenapa tidak bergabung di bawah pohon ini saja? Aku rasa kamu tidak ingin basah lebih jauh."
Aku mengangguk pelan, sedikit ragu, namun akhirnya memilih untuk mendekat. Kami berdua berdiri di bawah pohon yang rindang, saling berbagi perlindungan dari hujan. Tak ada percakapan panjang, hanya keheningan yang nyaman. Hanya ada suara hujan yang menghantam dedaunan dan angin yang menggerakkan cabang pohon.
Beberapa menit berlalu sebelum dia akhirnya berbicara lagi. "Aku selalu suka hujan," katanya dengan nada yang santai, namun matanya menatap jauh ke dalam hujan. "Hujan itu seperti kehidupan, datang tiba-tiba, kadang membuat kita merasa terjebak, tapi setelah itu… ada keindahan yang muncul, bahkan dari kesulitan."
Aku hanya mengangguk, terhanyut dalam kata-katanya. Terkadang, ada hal-hal yang sulit dijelaskan, seperti perasaan yang datang tanpa bisa dijadwalkan. Aku merasa begitu dekat dengan orang asing ini, yang belum lama aku temui, namun seolah sudah lama mengenalnya.
"Aku percaya, setiap hujan punya cerita untuk diceritakan," lanjutnya, kemudian dia menoleh padaku, memberikan senyuman yang menenangkan. "Dan aku rasa, kita sedang berada di dalam cerita itu."
Aku tak tahu harus berkata apa. Mataku bertemu dengan matanya, dan dalam tatapan itu aku merasakan sebuah koneksi yang dalam, meskipun kami baru saja bertemu. Hujan yang terus turun seolah mengikat kami dalam momen ini, momen yang terasa begitu spesial, seolah dunia hanya ada kami berdua.
Tak lama setelah itu, hujan mereda, dan kami melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Namun, kali ini, langkahku terasa lebih ringan. Seperti ada semangat baru yang muncul dalam diriku, mungkin karena aku baru saja bertemu dengan seseorang yang membuatku percaya bahwa, di balik hujan yang lebat sekalipun, selalu ada kisah indah yang menunggu untuk ditemukan.
Hari demi hari berlalu, dan kami mulai sering bertemu di tempat yang sama. Dari kebetulan menjadi kebiasaan, dari percakapan ringan menjadi cerita yang lebih mendalam. Setiap kali hujan turun, kami seolah punya alasan untuk bertemu. Dia mulai bercerita lebih banyak tentang hidupnya, tentang mimpi-mimpi yang ingin dicapainya, tentang kenangan yang masih membekas di hati. Aku pun begitu. Kami berbagi cerita, tawa, dan kadang keheningan yang nyaman.
Suatu hari, saat hujan turun dengan sangat lebat, aku berlari ke arah pohon yang menjadi tempat kami pertama kali bertemu. Namun kali ini, aku tidak hanya berharap untuk berteduh. Aku membawa sesuatu—sebuah surat kecil yang kutulis dengan tangan, berisi perasaan yang selama ini terpendam.
Saat dia muncul, basah kuyup dengan senyum yang sama seperti dulu, aku memberanikan diri memberinya surat itu. "Aku ingin kamu tahu," kataku, suara sedikit bergetar, "bahwa hujan ini telah mengajarkan aku banyak hal. Termasuk tentang keberanian untuk mencintai."
Matanya melebar, lalu senyumnya semakin lebar. "Aku pun merasakannya," jawabnya, lalu menarik tanganku. "Mungkin kita memang harus berhenti lari dari hujan dan mulai berjalan bersamanya."
Dan sejak itu, kami tak lagi hanya berbagi hujan. Kami berbagi segalanya—tawa, kesedihan, dan harapan. Cinta kami berkembang, seperti hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan sesuatu yang indah dan tak terduga.
0 Komentar